DSN MUI secara konsisten menerapkan fikih yang memberikan solusi
Sharianews.com, Jakarta - Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) berada dalam posisi seperti sekarang dan dipercaya banyak pihak karena menerapkan dua hal.
Wakil Presiden (Wapres) K.H Ma’ruf Amin mengungkapkan kedua hal itu. Pertama adalah melakukan pendekatan menggunakan cara tadriji (bertahap) sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Sementara yang kedua adalah DSN MUI secara konsisten menerapkan fikih yang memberikan solusi (makharij fiqhiyyah).
“Ini bukan fikih yang semata-mata membatasi dan apalagi melarang, sehingga fatwa-fatwa DSN MUI dapat memenuhi kebutuhan para pelaku industri dan di sisi lain juga mempunyai dasar kesyariahan yang kuat,” ujarnya, dalam acara Pra-Ijtima’ Tsanawi DSN MUI, Senin (12/10)
Corak fikih yang bertahap dan solutif itu, disebut Wapres menjadi ruh fatwa-fatwa DSN MUI selama ini. Corak seperti ini tidak muncul secara tiba-tiba, namun telah dimatangkan dari proses lama dan mendalam sejak DSN MUI dibentuk.
Ia mencontohkan, dalam prinsip DSN MUI berupa Taysirul Manhaj misalnya, fatwa DSN MUI bisa memberikan solusi terbaik terhadap masalah industri keuangan. Kaidah satu ini membuat fatwa yang meringankan namun tetap sesuai dari sisi metodologisnya. Fatwa yang meringankan namun mengacuhkan aspek kesesuaian metodologis, tentu saja terlarang. Maka konsep DSN MUI ini menjadi jalan tengah.
“Untuk kepentingan prinsip itu misalnya, dirumuskan kaidah mengambil pendapat yang lebih kuat dan lebih maslahat jika memungkinkan, dan jika tidak memungkinkan mengambil kedua-duanya, maka mengambil pendapat yang lebih maslahat saja,” katanya.
Kaidah seperti ini, ucap dia, jarang ditemukan di tempat lain karena perumusnya adalah DSN MUI setelah melalui perjalanan panjang. Penggunaan kaidah ini membuat fatwa DSN menjadi lebih fleksibel, terutama dalam mengambil kemaslahatan yang sesuai koridor syariah.
“Karena itu, tidak perlu heran jika di fatwa-fatwa DSN MUI ditemukan penerapan kaidah yang bisa jadi saling berlawanan. Dua kaidah yang terlihat saling berlawanan semuanya diadopsi oleh DSN MUI dan dipakai dalam penerapan fatwa, bergantung mana yang lebih relevan dengan kemaslahatan,” katanya.
Selain prinsip al-Taysir al-Manhaji itu, DSN MUI juga menggunakan prinsip Tafriq al Halal ‘An al-Haram, I’adah al-Nadhar, dan Tahqiq al-Manath.
K.H. Ma’ruf berharap, pemahaman seperti ini menjadi pegangan Dewan Pengawas Syariah (DPS), termasuk argumentasinya.
“Sebab, acuan utama dalam melakukan tugas DPS adalah fatwa DSN-MUI. Oleh karenanya, DPS dituntut untuk terus meningkatkan kompetensinya, sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan baik dalam pengawasan aspek kepatuhan syariah di lembaga keuangan dan bisnis syariah,” ujarnya.