Adanya zakat fitrah, zakat maal dan zakat profesi diharapkan dapat menekan tingkat ketimpangan kekayan di Indonesia, selain itu juga zakat dapat diandalakan sebagai salah satu mekanisme dalam mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
Sharianews.com, Hingga saat ini kemiskinan merupakan masalah klasik yang belum terselesaikan di Indonesia. Kemiskinan tidak hanya masalah yang menyangkut individu seseorang saja tetapi juga terkait aspek masyarakat dan pemerintahan, khususnya di Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia saat ini bagaikan “gelas anggur”. Bagian atas gelas tersebut diibaratkan dipenuhi sekitar 115.000 penduduk yang masuk ke dalam kategori satu persen orang paling kaya di dunia. Berdasarkan laporan Global Wealth Report 2019 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, jumlah tersebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan populasi penduduk dewasa Indonesia yang mencapai 173 juta orang. Sedangkan bagian bawah gelas tersebut dipenuhi dengan jumlah penduduk miskin pada September 2019 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2020 sebesar 24.785,85 ribu orang dengan persentase dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 9,22%.
Maka dari itu, gap antara tingkat kekayaan dan kemiskinan penduduk Indonesia yang besar menunjukkan ada permasalahan dalam distribusi kekayaan maupun pendapatan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik 2020 pada September 2019 data koefisien gini menunjukkan tingkat ketimpangan mencapai 0,380.
Pemerintah memiliki program untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu inklusi keuangan. Menurut Irmawati dkk. (2013, p. 154) inklusi keuangan merupakan upaya untuk mendorong sistem keuangan agar dapat diakses seluruh lapisan masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas sekaligus mengatasi kemiskinan.
Inklusi Keuangan bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan didukung oleh infrastruktur yang ada. Namun, menurut Pratama (2015, p. 94) lingkaran kemiskinan yang terjadi di Indonesia diakibatkan kurangnya masyarakat miskin untuk mendapatkan modal. Hal tersebut didukung oleh data yang dirilis OJK 2019 tentang tingkat inklusi keuangan baru mencapai 76,19%. Keadaan seperti ini disebabkan lembaga-lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan dana dari masyarakat yang surplus dana kepada masyarakat yang defisit dana belum menjalankan fungsinya dengan efektif. Oleh karena itu, dibutuhkan satu metode dan instrumen yang bisa memberdayakan masyarakat miskin dan memberikan kemudahan masyarakat miskin untuk mendapatkan akses modal untuk berusaha.
Islam juga telah mewajibkan bagi umatnya untuk menanggulangi kemiskinan melalui zakat. Menurut Afifi dan Ika (2010, p. 2) zakat berasal dari kata “Az-zakah” dalam bahasa Arab. Kata “az-zakah” memiliki beberapa makna, di antaranya “an-numuww” (tumbuh), “az-ziyadah” (bertambah), “ath- thaharah” (bersih), “al-madh” (pujian), “al-barakah” (berkah) dan “ash-shulh” (baik). Semuanya dapat digunakan untuk memaknai kata zakat dan turunannya yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Sedangkan menurut pengertian terminologis menurut Mas’ud dan Muhamad, (2005, p. 34) zakat adalah jumlah tertentu dari harta yang Allah Ta’ala wajibkan untuk kita serahkan kepada orang-orang yang berhak. Kaitan antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan berkembang. Maka dari itu, menurut Qadir (2001, 83-84) Islam datang membawa sebuah konsep kehidupan (manhaj al-hayah) yang sempurna, tidak hanya memperhatikan aspek individual belaka, tetapi juga membawa misi sosial. Perlu diketahui bahwa tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen, yaitu mengentaskan kemiskinan.
Berbagai penelitian telah dilakukan terkait potensi penghimpunan zakat di Indonesia. Penelitian dilakukan oleh Puskas BAZNAS tahun 2017 yang menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia adalah sekitar 217 triliun rupiah yang dihitung dari berbagai sumber. Namun, laporan penerimaan zakat tahun 2017 oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia, yaitu BAZNAS, BAZ Daerah serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) baru terhimpun sebesar 2,3%. Sangat disayangkan bahwa potensi zakat yang besar tersebut belum dapat tergali secara maksimal sehingga belum mampu mengentaskan kemiskinan yang ada di Indonesia. Adanya zakat fitrah, zakat maal dan zakat profesi diharapkan dapat menekan tingkat ketimpangan kekayan di Indonesia, selain itu juga zakat dapat diandalakan sebagai salah satu mekanisme dalam mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
Menurut hasil penelitian BAZNAS (2020, p. 33) dampak zakat terhadap mustahik yang dinilai dengan Indeks Kesejahteraan BAZNAS dan dihitung berdasarkan garis kemiskinan mengalami penurunan dari predikat Baik menjadi predikat Cukup Baik berdasarkan perbandingan hasil perhitungan tahun 2018 dan 2019. Indeks Kesejahteraan BAZNAS adalah alat ukur untuk melihat dampak zakat terhadap para mustahik zakat produktif. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat memaksimalkan kembali pengelolaan zakat agar dapat memberikan dampak yang lebih maksimal kepada mustahik sehingga signifikan mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Solusi dari permasalahan tersebut adalah penerapan sistem desentralisasi zakat di Indonesia. Sistem ini dijalankan oleh lembaga amil zakat baik yang negeri maupun yang swasta harus bekerjasama atau mendirikan UPZ-UPZ di setiap daerah berskala kecil. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat. Kinerja dunia zakat nasional harus ditingkatkan dengan mendorong kemitraan pemerintah dan swasta dengan UPZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Kemitraan tersebut dalam program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian fungsi penghimpunan dan penyaluran dalam pengelolaan zakat.
Fungsi penghimpunan dapat dijalankan UPZ dengan cara menggunakan pendekatan penghimpunan individu. Menurut Coryna dan Tanjung (2015, p. 167) penghimpunan individu merupakan pendekatan penghimpunan terhadap individu dan UMKM. Penghimpunan individu memiliki sifat, yaitu tidak mengikat dan individual. Dari segi jumlah, penghimpunan individu melayani penghimpunan dalam jumlah yang relatif kecil dengan sifat layanan yang customized.
Fungsi penyaluran juga dapat dijalankan dengan cara menggunakan pendekatan zakat produktif. Menurut Abdullah (2013, p. 6) zakat produktif adalah zakat yang diberikan kepada fakir miskin berupa modal usaha atau yang lainnya yang digunakan untuk usaha produktif yang mana hal ini akan meningkatkan taraf hidupnya, dengan harapan seorang mustahik akan bisa menjadi muzakki jika dapat menggunakan harta zakat tersebut untuk usahanya. Dalam pelaksanaannya, zakat produktif dapat dilakukan dengan 2 bentuk, yaitu produktif konvensional dan produktif kreatif. Menurut Fitri (2017, p. 164) penyaluran zakat secara produktif konvensional adalah zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, di mana dengan menggunakan barang-barang tersebut, para muzakki dapat menciptakan suatu usaha. Sedangkan pendistribusian zakat secara produktif kreatif adalah zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk pemodalan proyek sosial.
Berdasarkan berbagai metode dari kedua fungsi tersebut, zakat yang dilakukan UPZ akan lebih efektif meningkatkan penghimpunan zakat dan memberikan dampak yang positif untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan UPZ lebih mengetahui kemampuan muzakki dan keadaan ekonomi mustahik di daerah UPZ beroperasi. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya pelatihan secara masif bagi para sumber daya manusia di daerah setempat untuk mendapatkan ilmu pengelolaan zakat yang baik dari lembaga zakat pemerintah atau swasta untuk mengoptimalkan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.