Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli yang bersifat amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk membelikan dan memberitahukan harga asal barang tersebut.
Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli yang bersifat amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk membelikan dan memberitahukan harga asal barang tersebut.
Sharianews.com, Jakarta. Pada akad murabahah penentuan besaran harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli. Jenis dan jumlah barang dijelaskan dengan rinci. Barang diserahkan setelah akad jual beli dan pembayaran bisa dilakukan secara mengangsur/cicilan atau sekaligus.
Para ulama fiqih, mendefinisikan murabahah (bay’ al-murabahah) ini sebagai jual beli barang sesuai harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bay’ al-murabahah, penjual menyebutkan dengan jelas harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas keuntungan (laba) dalam jumlah tertentu.
Sebagai contoh, ada tiga pihak, yaitu A, B, dan C dalam suatu kontrak murabahah. A meminta B untuk membeli beberapa barang untuk A. B tidak memiliki barang-barang dimaksud, tetapi ia berjanji untuk membelikannya dari pihak ketiga yaitu C. B adalah perantara dan kontrak murabahah adalah antara A dan B.
Melihat konsep dan prinsip ini, ada yang menyebutkan bahwa murabahah adalah suatu bentuk jual beli dengan komisi, di mana pembeli biasanya tidak dapat memperoleh barang yang ia inginkan, kecuali lewat seorang perantara atau ketika pembeli tidak mau bersusah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia mencari jasa seorang perantara.
Ulama generasi awal membolehkan
Bagaimana setatus kukumnya? Para ulama generasi awal, seperti Imam Malik dan Imam syafi’i menyatakan bahwa jual beli murabahah adalah halal. Imam Malik membenarkan keabsahannya dengan merujuk kepada amal ahli Madinah : “Ada kesepakatan pendapat di sini (Madinah) tentang keabsahan seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan keuntungan yang disepakati.
Sementara Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, berpendapat bahwa: Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada seseorang dan berkata: “belikan barang (seperti ini) untukku dan berkata ”Belikan barang (seperti ini) untukku dan aku akan memberimu keuntunga sekian” lalu orang itu pun membelinya, maka jual beli itu adalah sah. Imam Syafi’i menamai transaksi jenis ini (murabahah yang dilakukan untuk pembelian secara pemesanan) dengan istilah al-murabahah li al-amir bi asy-syira’.
Fatwa DSN-MUI tentang murabahah
Sementara, definiasi murabahah sesuai Fatwa Dewan Syariah nasional No. 04/DSN-MUI/2000 tentang murabahah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
DSN-MUI mendasarkan kebolehan prinsip murabahah dengan buyi nash Alquran, surat An-Nisa (4) ayat 29 : “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
Kendati tidak secara spesifik, pinsip keumuman bunyi nash Alquran surat An-Nisa (4) ayat 29 ini, mengatur tentang prinsip jual beli yang harus dilakukan secara baik. Tidak bathil, dan dilakukan secara sukarela.
Ayat lainnya yang dijadikan rujukan adalah Alquran surat Al-Baqarah [2] ayat 275 yang berbunyi, "…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…." Serta bunyi nash Al-Quran surat Al-Ma’idah [5] atat 1 yang berbunyi, “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
Ayat atau bunyi nash Alquran surat Al-Baqarah (2) ayat 275 ini menjelaskan tentang proses niaga atau jual beli yang harus dilakukan secara halal serta melarang jual beli yang mengandung unsur riba. Jual beli dalam prinsip murabahah juga mensyaratkan adanya prinsip kebolehan untuk membayar baik secara kontan maupun secara angsuran.
Hal ini seperti tercermin di dalam nash Alquran surat Al-Baqarah [2]: 280: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”
Bagaimana pun jual yang halal mestilah dilakukan dalam akad yang disepakati antara kedua belah pihak. Hal ini seperti tercermin dalam Hadits Nabi SAW, yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
Ada juga hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam bahwa, “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”
Di dalam kaidah fiqih disebutkan, “Al ashlu fi al-mu’amalati al-ibahatu illa al-yadullu dalilun ‘ala tahrimiha - Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Teks dan bunyi nash di atas secara umum kemudian menjadi rujukan utama para ulama di DSN-MUI dalam mengeluarkan fatwa terkait dengan akad murabahah ini. Selain mengambil dan menyadarkan pada bunyi nash Alquran juga tentu saja merujuk pada ijma’ ulama atau pendapat ulama-ulama klasik terkait akad murabahah melalui karya-karya mereka.
Syarat dan rukun murabahah
Jual beli murabahah dalam perspektif ekonomi Islam memiliki beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Pertama, adalah adalah pihak yang berakad (al-'aqidain), yaitu : penjual (bank), pembeli (nasabah), dan pemasok (supplier)
Kedua, adanya obyek yang diakadkan (mahallul 'aqad). Barang yang dijualbelikan ini harus jelas wujudnya, dan jelas pula harganya.
Ketiga, adanya kejelasan tujuan akad (maudhu'ul aqad). Yang harus diperhatikan, tujuan pokok akad dalam murabahah ini sangatlah penting karena akan menentukan sah atau tidaknya suatu akad. Kaidah utama dalam hukum Islam sebagaimana diterapkan Imam Suyuti dalam kitab “Al Asybah wa an Nazhir” menyatakan bahwa "segala sesuatu dipertimbangkan menurut tujuannya (al ummuru bi maqasidaha)".
Dalam kaitannya dengan jual-beli dengan pembiayaan murabahah, maka tujuan akad adalah pemindahan hak milik kebendaan dari pihak bank (bai') kepada nasabah (musytari').
Keempat, adanya akad (sighat al-'aqad), yang meliputi akad serah (ijab) dan terima (qabul). Kedua akad – serah dan terima – ini juga harus memenuhi tiga syarat. Yaitu, adanya kejelasan pernyataan yang terkandung dalam pernyataan tujuan akad (ala'ul ma'na). Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul (tawafuq). Antara ijab dan Kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa (jazmul iradataini).
Kesepakatan akad murabahah tercapai setelah ada pemahaman antara pihak bank dan nasabah yang dinyatakan dengan penandatangan akad.
Selanjutnya, jika rukun dan syarat yang telah dijelaskan di atas dapat terpenuhi, maka bank dan nasabah dapat memilih mekanisme pembayaran berdasarkan jenis-jenis jual beli murabahah sebagai berikut :
Murabahah dengan tunai, yaitu jual beli barang di mana bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli. Atau murabahah dengan cicilan (bitsaman ajil), yaitu jual beli barang dimana harga jual dicantumkan dalam akad jual beli.
Praktik murabahah dalam perbankan islam
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu sekema fiqih dalam praktik perbankan Islam yang popular adalah jual beli berdasar akad murabahah.
Murabahah dalam perbankan syariah didefinisikan sebagai jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli barang antara bank dan nasabah dengan cara pembayaran angsuran.
Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau aset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu margin keuntungan.
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syari’ah, pada prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan kesepakatan atas nisbah – bagi hasil.
Berikut ini, karakteristik dasar kontrak pembiayaan murabahah dalam praktik perbankan Islam :
Ahmad Kholil